
Menyukseskan Pemilu Dengan Hati
oleh: Agusliadi Massere Anggota KPU Kabupaten Bantaeng Divisi Hukum dan Pengawasan Selasa, 14 Juni 2022 adalah hari bersejarah dimana KPU RI resmi meluncurkan awal tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024. Sejak hari itu, hingga 20 bulan ke depan kerja penyelenggara pemilu mengacu pada Peraturan KPU (PKPU) tentang Tahapan, Program dan Jadwal yang telah ditentukan. Dan semuanya menuju hari pemungutan dan penghitungan suara yang akan jatuh pada Rabu, 14 Februari 2024. Menyikapi hal ini, disuatu kesempatan, saat menjadi pembina apel, saya berpesan kepada jajaran KPU Kabupaten Bantaeng untuk “Menyukseskan Tahapan Pemilu dengan Hati”. Mengapa dengan hati? Secara algoritmik, ini bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul dalam benak saya, tapi dari sejumlah pemantik memunculkan kesimpulan agar tahapan pemilu disukseskan dengan hati. Pemantik tersebut di antaranya, tagline “Hari Kasih Suara” yang digagas jajaran teman-teman Anggota KPU di Sulawesi Selatan (dan ini, saya telah menyelesaikan tulisannya, yang terbit di kanal khittah.co), motto “Berintegritas 24 Jam” dari Sekretaris Jenderal KPU RI, dan arahan kepada seluruh jajaran KPU se-Indonesia, untuk belajar dan membiasakan tersenyum. Kembali ke pertanyaan sebelumnya, mengapa harus dengan hati? Ada sejumlah alasan, pandangan, nilai, dan kearifan yang menegaskan relevansi, urgensi, dan signifikansi hati dengan pencapaian yang bisa diraih dalam kehidupan termasuk tahapan pemilu. Rasulullah Muhammad SAW melalui sabdanya menyampaikan, bahwa “Dalam diri kita ada segumpal daging, jika itu baik maka baiklah semuanya. Segumpal daging itu adalah qalbu/hati”. Da’i kondang/ulama, KH. Abdullah Gymnastiar yang akrab disapa Aa Gym, melalui lirik lagunya menegaskan bahwa hati itu “Lentera Hidup” dan “Cahaya Ilahi”. Selain kedua hal di atas, Bobby DePorter & Mike Hernacki, melalui buku karyanya Quantum Learning. DePorter & Hernacki, juga menyampaikan bahwa “Suasana hati” bisa memengaruhi, memiliki kontribusi, dan/atau berkorelasi positif dengan “kedahsyatan fungsi otak”. Artinya jika suasana hati kita tenang,senang, dan bahagia maka “raksasa tidur” dalam hal ini “kedahsyatan otak” bisa bangkit. Dalam menyukseskan tahapan pemilu, jika kita mau mengawalinya dengan perenungan mendalam, dan sikap kritis dan jujur dalam membaca realitas selama ini, maka sesungguhnya bukan hanya membutuhkan aspek teknis, skill, prosedural-operasionalistik, sarana dan prasarana, dan kerangka regulasi. Beyond, melampaui dari itu ada aspek yang bisa dikategorikan sebagai humanware (aspek manusianya, terutama yang menjadi aktor). Manusia sarat dengan kepentingan, dan tanpa kecuali tidak luput dari godaan dan/atau pengaruh, maka melibatkan hati sebagai sesuatu yang bisa dipandang sebagai piranti, penting dihadirkan untuk memengaruhi dan sebagai pengendali tanpa kecuali sebagai penggerak. Meminjam dan mengontekstualisasikan dalam tulisan ini, cara pandang dan pemaknaan “kerja” dari buku Kubik Leadership: Solusi Esensial Meraih Sukses dan Hidup Mulia karya Jamil Azzaini, dkk. Jamil Azzaini, dkk memberikan cara pandang, yang disebutnya dengan “3 AS” yaitu “Kerja keras”, “Kerja cerdas” dan “Kerja Ikhlas”. Dari cara pandang “3 AS” di atas, saya memetakan ulang bahwa “kerja keras” itu berada dalam dimensi atau mekanisme kerja ‘fisik-biologis”. Sedangkan “kerja cerdas” dan “kerja ikhlas” berada dalam satu kesatuan fungsi otak dan hati. Dan bahkan dari “3 AS” ini, saya menemukan pemahaman, jika harus disusun secara hierarkis, maka yang paling utama adalah kerja ikhlas, dan berikutnya kerja cerdas, serta terakhir adalah kerja keras. Meskipun dalam hal tertentu atau oleh orang tertentu, ketiganya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menetapkan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum. Dari Peraturan DKPP ini, berdasarkan hasil pemahaman dan perenungan, saya menemukan hal menarik dan memiliki relevansi dengan substansi tulisan ini, khususnya terkait “hati”. Jika merujuk pada Peraturan DKPP tersebut, ada dua hal penting yang harus dimiliki oleh penyelenggara pemiludalam penyelenggaraan pemilu atau dalam menyukseskan seluruh tahapan. Dua hal tersebut, dan harus menjadi “sayap utnuk terbang” adalah “integritas” dan “profesionalitas. Kedua sayap ini, harus mampu dikepakkan dengan baik. Dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tersebut, jika mencermati apa yang dimaknai sebagai integritas—antara lain: jujur; adil; mandiri; dan akuntabel—maka semua ini mekanisme kerjanya banyak bersentuhan dengan dimensi “hati”. Sedangkan untuk “profesionalitas” yang bagian-bagiannya dijelaskan secara detail pula, yang pada dasarnya seluruhnya adalah bagian dari prinsip penyelenggaraan pemilu, bisa dipahami bahwa mekanisme kerjanya lebih banyak bersentuhan dengan “otak”. Jadi profesionalitas mampu terwujud ketika kedahsyatan otak berfungsi dengan baik. Dan ternyata sebagaimana dijelaskan oleh DePorter & Hernacki dalam skemanya, Hati memiliki korelasi positif dengan kedahsyatan fungsi otak. Bisakah hal non-teknis memengaruhi hal teknis, sehingga saya selaku penulis sampai pada kesimpulan dan menjadi judul tulisan “Menyukseskan Pemilu dengan Hati”? Selain yang telah saya jelaskan di atas, dari beberapa literature yang pernah saya baca, jawabannya sangat bisa. Dalam buku Law of Spiritual Attraction: Prinsip Sukses Beyond LOA karya Priatno H. Martokoesoemo, ada satu hasil riset yang dipaparkan dengan baik, dan memiliki relevansi untuk menjawab pertanyaan di atas, bahkan sangat ilmiah. Priatno menjelaskan terkait riset canggih Robert Jahn dan Brenda Dunne yang dilakukan selama dua puluh lima tahun dengan 2,5 juta tes telah dilakukannya. Riset canggih dan akademis ini ingin membuktikan apakah niat dari pikiran manusia bisa memengaruhi dari hasil pengambilan data secara acak yang dilakukan oleh komputer. Jahn dan Dunne dari risetnya tersebut berhasil menemukan dan menyimpulkan, bahwa niat dari pikiran manusia [bisa pula disebut hati] mampu memengaruhi mekanisme kerja mesin elektronik. Artinya apa? jika mesin elektronik saja bisa dipengaruhi oleh niat, pikiran, dan/atau hati kita, berarti tahapan pemilu pun, kesuksesannya bisa dipengaruhi oleh “hati”. Beberapa pandangan pakar psikologi pun, salah satuny Dedy Susanto, bisa diinterpretasi ulang bahwa antara psikis dan fisik manusia, memang memiliki relasi hierarkis, di mana dimensi fisik bisa dipengaruhi oleh dimensi psikis. Terkait ini, bisa pula dipahami dengan baik dari Buku Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu. Hati, atau suasana hati yang tenang, senang, dan bahagia atau jiwa yang mutmainnah yang oleh penulis diyakini bisa menjadi modal dalam menyukseskan tahapan pemilu, harus mendapat perhatian lebih, dijaga, dan dirawat. Untuk hal ini, hati pun harus digunakan pada sesuatu yang positif, produktif, dan kontributif, selain itu harus setiap saat mendapatkan asupan “gizi” yang tentunya bersifat spiritual, abstrak, kebaikan, kebenaran, etis, dan estetis. Agar hati bisa pula selalu tenang, senang, dan bahagia, maka harus sering disirami dengan “dzikir” dan terpaut indah dengan “pikir”. Hati, harus selalu ditautkan pada harapan-harapan mulia dan positif. Hati harus senantiasa berada dalam dimensi sikap saling menghormati, dan termasuk sikap mengapresiasi. Bentuk apresiasi tentunya banyak, tanpa kecuali apresiasi dari institusi lain atas kinerja penyelenggara pemilu, bisa menjadi pemantik suasana hati yang tenang, senang, dan bahagia. Hati adalah modal penting untuk menyukseskan tahapan pemilu. Bahkan jika kita merunungi berbagai problem yang terjadi dalam reaslitas sosial-politik, termasuk dalam konteks yang bersentuhan dengan sengketa dan pelanggaran dalam pemilu, bisa dipastikan bahwa pemicu utama, karena ada yang tidak beres dalam hati para pelakunya. Jika hati bermasalah, ketersediaan regulasi, petunjuk teknis, kecukupan sarana dan prasarana tidak mampu memberikan jaminan atas pencapaian kesuksesan setiap tahapan. Saya pribadi, tidak sependapat dengan orang-orang yang pesimis lalu mengatakan tidak semua harus dengan “hati” alasannya bahwa jika semua harus dengan hati berpotensi akan baper (terbawa perasaan). Mengapa saya tidak sependapat karena orang baper yang dimaksud, berarti hatinya sedikit bermasalah, sehingga perasaannya pun sepert yang dikhawatirkan. Marilah Kita Menyukseskan Tahapan Pemilu Dengan Hati. (*)