Publikasi

Opini

oleh: Agusliadi Massere Anggota KPU Kabupaten Bantaeng Divisi Hukum dan Pengawasan Selasa, 14 Juni 2022 adalah hari bersejarah dimana KPU RI resmi meluncurkan awal tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024. Sejak hari itu, hingga 20 bulan ke depan kerja penyelenggara pemilu mengacu pada Peraturan KPU (PKPU) tentang Tahapan, Program dan Jadwal yang telah ditentukan. Dan semuanya menuju hari pemungutan dan penghitungan suara yang akan jatuh pada Rabu, 14 Februari 2024. Menyikapi hal ini, disuatu kesempatan, saat menjadi pembina apel, saya berpesan kepada jajaran KPU Kabupaten Bantaeng untuk “Menyukseskan Tahapan Pemilu dengan Hati”. Mengapa dengan hati? Secara algoritmik, ini bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul dalam benak saya, tapi dari sejumlah pemantik memunculkan kesimpulan agar tahapan pemilu disukseskan dengan hati. Pemantik tersebut di antaranya, tagline “Hari Kasih Suara” yang digagas jajaran teman-teman Anggota KPU di Sulawesi Selatan (dan ini, saya telah menyelesaikan tulisannya, yang terbit di kanal khittah.co), motto “Berintegritas 24 Jam” dari Sekretaris Jenderal KPU RI, dan arahan kepada seluruh jajaran KPU se-Indonesia, untuk belajar dan membiasakan tersenyum. Kembali ke pertanyaan sebelumnya, mengapa harus dengan hati? Ada sejumlah alasan, pandangan, nilai, dan kearifan yang menegaskan relevansi, urgensi, dan signifikansi hati dengan pencapaian yang bisa diraih dalam kehidupan termasuk tahapan pemilu. Rasulullah Muhammad SAW melalui sabdanya menyampaikan, bahwa “Dalam diri kita ada segumpal daging, jika itu baik maka baiklah semuanya. Segumpal daging itu adalah qalbu/hati”. Da’i kondang/ulama, KH. Abdullah Gymnastiar yang akrab disapa Aa Gym, melalui lirik lagunya menegaskan bahwa hati itu “Lentera Hidup” dan “Cahaya Ilahi”. Selain kedua hal di atas, Bobby DePorter & Mike Hernacki, melalui buku karyanya Quantum Learning. DePorter & Hernacki, juga menyampaikan bahwa “Suasana hati” bisa memengaruhi, memiliki kontribusi, dan/atau berkorelasi positif dengan “kedahsyatan fungsi otak”.  Artinya jika suasana hati kita tenang,senang, dan bahagia maka “raksasa tidur” dalam hal ini “kedahsyatan otak” bisa bangkit. Dalam menyukseskan tahapan pemilu, jika kita mau mengawalinya dengan perenungan mendalam, dan sikap kritis dan jujur dalam membaca realitas selama ini, maka sesungguhnya bukan hanya membutuhkan aspek teknis, skill, prosedural-operasionalistik, sarana dan prasarana, dan kerangka regulasi. Beyond, melampaui dari itu ada aspek yang bisa dikategorikan sebagai humanware (aspek manusianya, terutama yang menjadi aktor). Manusia sarat dengan kepentingan, dan tanpa kecuali tidak luput dari godaan dan/atau pengaruh, maka melibatkan hati sebagai sesuatu yang bisa dipandang sebagai piranti, penting dihadirkan untuk memengaruhi dan sebagai pengendali tanpa kecuali sebagai penggerak. Meminjam dan mengontekstualisasikan dalam tulisan ini, cara pandang dan pemaknaan “kerja” dari buku Kubik Leadership: Solusi Esensial Meraih Sukses dan Hidup Mulia karya Jamil Azzaini, dkk. Jamil Azzaini, dkk memberikan cara pandang, yang disebutnya dengan “3 AS” yaitu “Kerja keras”, “Kerja cerdas” dan “Kerja Ikhlas”. Dari cara pandang “3 AS” di atas, saya memetakan ulang bahwa “kerja keras” itu berada dalam dimensi atau mekanisme kerja ‘fisik-biologis”. Sedangkan “kerja cerdas” dan “kerja ikhlas” berada dalam satu kesatuan fungsi otak dan hati. Dan bahkan dari “3 AS” ini, saya menemukan pemahaman, jika harus disusun secara hierarkis, maka yang paling utama adalah kerja ikhlas, dan berikutnya kerja cerdas, serta terakhir adalah kerja keras. Meskipun dalam hal tertentu atau oleh orang tertentu, ketiganya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menetapkan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum. Dari Peraturan DKPP ini, berdasarkan hasil pemahaman dan perenungan, saya menemukan hal menarik dan memiliki relevansi dengan substansi tulisan ini, khususnya terkait “hati”. Jika merujuk pada Peraturan DKPP tersebut, ada dua hal penting yang harus dimiliki oleh penyelenggara pemiludalam penyelenggaraan pemilu atau dalam menyukseskan seluruh tahapan. Dua hal tersebut, dan harus menjadi “sayap utnuk terbang” adalah “integritas” dan “profesionalitas. Kedua sayap ini, harus mampu dikepakkan dengan baik. Dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tersebut, jika mencermati apa yang dimaknai sebagai integritas—antara lain: jujur; adil; mandiri; dan akuntabel—maka semua ini mekanisme kerjanya banyak bersentuhan dengan dimensi “hati”. Sedangkan untuk “profesionalitas” yang bagian-bagiannya dijelaskan secara detail pula, yang pada dasarnya seluruhnya adalah bagian dari prinsip penyelenggaraan pemilu, bisa dipahami bahwa mekanisme kerjanya lebih banyak bersentuhan dengan “otak”. Jadi profesionalitas mampu terwujud ketika kedahsyatan otak berfungsi dengan baik. Dan ternyata sebagaimana dijelaskan oleh DePorter & Hernacki dalam skemanya, Hati memiliki korelasi positif dengan kedahsyatan fungsi otak. Bisakah hal non-teknis memengaruhi hal teknis, sehingga saya selaku penulis sampai pada kesimpulan dan menjadi judul tulisan “Menyukseskan Pemilu dengan Hati”? Selain yang telah saya jelaskan di atas, dari beberapa literature yang pernah saya baca, jawabannya sangat bisa. Dalam buku Law of Spiritual Attraction: Prinsip Sukses Beyond LOA karya Priatno H. Martokoesoemo, ada satu hasil riset yang dipaparkan dengan baik, dan memiliki relevansi untuk menjawab pertanyaan di atas, bahkan sangat ilmiah. Priatno menjelaskan terkait riset canggih Robert Jahn dan Brenda Dunne yang dilakukan selama dua puluh lima tahun dengan 2,5 juta tes telah dilakukannya. Riset canggih dan akademis ini ingin membuktikan apakah niat dari pikiran manusia bisa memengaruhi dari hasil pengambilan data secara acak yang dilakukan oleh komputer. Jahn dan Dunne dari risetnya tersebut berhasil menemukan dan menyimpulkan, bahwa niat dari pikiran manusia [bisa pula disebut hati] mampu memengaruhi mekanisme kerja mesin elektronik. Artinya apa? jika mesin elektronik saja bisa dipengaruhi oleh niat, pikiran, dan/atau hati kita, berarti tahapan pemilu pun, kesuksesannya bisa dipengaruhi oleh “hati”. Beberapa pandangan pakar psikologi pun, salah satuny Dedy Susanto, bisa diinterpretasi ulang bahwa antara psikis dan fisik manusia, memang memiliki relasi hierarkis, di mana dimensi fisik bisa dipengaruhi oleh dimensi psikis. Terkait ini, bisa pula dipahami dengan baik dari Buku Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu. Hati, atau suasana hati yang tenang, senang, dan bahagia atau jiwa yang mutmainnah yang oleh penulis diyakini bisa menjadi modal dalam menyukseskan tahapan pemilu, harus mendapat perhatian lebih, dijaga, dan dirawat. Untuk hal ini, hati pun harus digunakan pada sesuatu yang positif, produktif, dan kontributif, selain itu harus setiap saat mendapatkan asupan “gizi” yang tentunya bersifat spiritual, abstrak, kebaikan, kebenaran, etis, dan estetis. Agar hati bisa pula selalu tenang, senang, dan bahagia, maka harus sering disirami dengan “dzikir” dan terpaut indah dengan “pikir”. Hati, harus selalu ditautkan pada harapan-harapan mulia dan positif. Hati harus senantiasa berada dalam dimensi sikap saling menghormati, dan termasuk sikap mengapresiasi. Bentuk apresiasi tentunya banyak, tanpa kecuali apresiasi dari institusi lain atas kinerja penyelenggara pemilu, bisa menjadi pemantik suasana hati yang tenang, senang, dan bahagia. Hati adalah modal penting untuk menyukseskan tahapan pemilu. Bahkan jika kita merunungi berbagai problem yang terjadi dalam reaslitas sosial-politik, termasuk dalam konteks yang bersentuhan dengan sengketa dan pelanggaran dalam pemilu, bisa dipastikan bahwa pemicu utama, karena ada yang tidak beres dalam hati para pelakunya. Jika hati bermasalah, ketersediaan regulasi, petunjuk teknis, kecukupan sarana dan prasarana tidak mampu memberikan jaminan atas pencapaian kesuksesan setiap tahapan. Saya pribadi, tidak sependapat dengan orang-orang yang pesimis lalu mengatakan tidak semua harus dengan “hati” alasannya bahwa jika semua harus dengan hati berpotensi akan baper (terbawa perasaan). Mengapa saya tidak sependapat karena orang baper yang dimaksud, berarti hatinya sedikit bermasalah, sehingga perasaannya pun sepert yang dikhawatirkan. Marilah Kita Menyukseskan Tahapan Pemilu Dengan Hati.  (*)

MUNGKINKAH SUARA TERBANYAK TIDAK DILANTIK MENJADI CALON TERPILIH? Rabu (22/6), Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Provinsi Kalimantan Selatan melaksanakan Pandir-Pandir Demokrasi Wan Kepemiluan (PAPADAAN) sesi ke-X dengan KPU Kabupaten/Kota se-Kalimantan. Kali ini yang menjadi pemateri dari KPU Kota Banjarbaru dengan tema “Mungkinkah Suara Terbanyak Tidak Dilantik Menjadi Calon Terpilih?” Acara yang dihadiri oleh Anggota KPU Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Provinsi Kalimantan Selatan Nur Zazin, Anggota KPU Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Provinsi Sulawesi Selatan, Upi Hastati yang sekaligus menjadi Pengantar dalam Forum Diskusi, dan Kepala Sub Bagian Hukum dan SDM Sekretariat KPU Provinsi Kalimantan Selatan, Indriawan Adrak.  Dengan narasumber Ketua KPU Kota Banjarbaru, Hegar Wahyu Hidayat, dan Anggota KPU Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kota Banjarbaru, Romzi Fahmi, serta dimoderatori oleh Kasubbag Hukum dan SDM KPU Kota. Banjarbaru, Jubaidi. Kegiatan forum diskusi PAPADAAN dimaksudkan guna meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang hukum kepemiluan, transformasi pengalaman hukum kepemiluan di masing-masing Kab/Kota, persiapan dan penguatan pemahaman hukum dalam tahapan pemilu, dan menjaga profesionalitas dan integritas SDM di bidang hukum.

PERSYARATAN DAN PENDAFTARAN PARPOL PESERTA PEMILU 2024   oleh   IHSAN (Komisioner Divisi Hukum dan Pengawasan  KPU Kabupaten Hulu Sungai Selatan)   Selasa, tangal 14 Juni 2022 KPU RI telah menggelar “Peluncuran Tahapan Pemilu Tahun 2024”. Ini artinya genderang Pemilu sudah ditabuh sebagai tanda awal memasuki tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024. Tentu, squad KPU se-Indonesia dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota telah siap menyukseskan penyelenggaraannya. Lalu, Pemilu apa saja  yang termasuk Pemilu Tahun 2024 tersebut?   Pemilu Tahun 2024 meliputi: Pemilu legislatif (Pileg) untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; dan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).   Sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, Pileg dan Pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Hari Pemungutan Suara pada hari Rabu, 14 Februari 2024. Mungkin ada yang bertanya, kapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang juga akan diselenggarakan pada tahun 2024. Tanpa mendahului jadwal dan tahapan yang dibuat KPU RI, penyelenggaraan Pilkada akan dilaksanakan setelah tahapan Pileg dan Pilpres berakhir. Kita tunggu saja jadwal resmi KPU RI terkait tahapan dan penyelenggaraan Pemilihan/Pilkada Tahun 2024.    Tulisan ini tidak bermaksud membahas secara menyeluruh tentang seluk-beluk tahapan Pemilu 2024, melainkan hanya berfokus kepada beberapa hal terkait dengan pendaftaran partai politik (Parpol) sebagai calon peserta Pileg Tahun 2024. Sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (yang dijadikan dasar hukum Penyelenggaraan Pemilu 2024) bahwa yang menjadi peserta Pileg (kecuali untuk memilih calon perseorangan anggota DPD) adalah Parpol. Tentu, untuk menjadi peserta Pileg, Parpol harus memenuhi persyaratan dan mendaftarkan dirinya sebagai calon peserta Pileg 2024 kepada Komisi Pemilihan Umum.  Sesuai PKPU Nomor 3 Tahun 2022, jadwal pendaftaran dan verifikasi Parpol peserta Pemilu dimulai tanggal 22 Juli sampai dengan tanggal 13 Desember 2022. Jika dihitung sejak Peluncuran Tahapan Pemilu Tahun 2024 (tanggal 14 Juni 2022), maka waktu pendaftaran Parpol peserta Pemilu tinggal 39 hari lagi (tanggal 22 Juli 2022). Ini berarti, masa persiapan Parpol untuk mengajukan pendaftaran sebagai calon peserta Pileg 2024 tidak lama lagi. Paling tidak bagi Parpol yang hendak menjadi calon peserta Pileg 2024 seyogianya sudah secara dini mempersiapkan semua persyaratannya sesuai ketentuan UU No. 7 Tahun 2017.       Persyaratan Parpol Sebagai Peserta Pileg 2024   Berdasarkan ketentuan Pasal 173 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017, persyaratan Parpol untuk menjadi paserta Pemilu terdiri atas: berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.   Selanjutnya, pada ketentuan Pasal 177 huruf h, satu tambahan persyaratan lagi adalah “salinan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Berdasarkan ketentuan Pasal 173 ayat (2) dan Pasal 177 huruf h dapat diketahui bahwa terdapat 10 (sepuluh) persyaratan yang harus dipenuhi Parpol jika ingin mendaftarkan diri sebagai peserta Pemilu/Pileg 2024. Jika kita perhatikan ketentuan tersebut, maka ada penyiapan persyaratan yang menjadi tanggung jawab pengurus Parpol tingkat pusat dan ada persyaratan yang menjadi tanggung jawab pengurus Parpol tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Maksudnya, walaupun seluruh persyaratan Parpol dimaksud menjadi tanggung jawab utama pengurus Parpol tingkat pusat, namun ada beberapa dokumen persyaratan yang diinput oleh pengurus Parpol tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.       Tiga Hal Penting Sebelum dan Saat Pendaftaran Parpol (berkaca kepada Pemilu 2019)   Sampai tulisan ini dibuat, PKPU sebagai peraturan pelaksanaan yang terkait dengan pendaftaran, verifikasi, dan penetapan Parpol peserta Pemilu 2024 belum diterbitkan oleh KPU RI. Namun demikian, kita bisa berkaca kepada PKPU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Paling tidak, PKPU Nomor 6 Tahun 2018 (sebagai peraturan pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2017) ini dapat dijadikan sebagai gambaran awal bagaimana pendaftaran Parpol peserta Pemilu 2024. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan oleh Parpol sebagaimana diatur oleh PKPU Nomor 6 Tahun 2018 khususnya terkait dengan pendaftaran Parpol peserta Pemilu, yaitu: sebelum pendaftaran, Parpol menunjuk Petugas Penghubung yang bertugas sebagai penghubung antara Parpol dengan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dalam proses pendaftaran, verifikasi, penetapan, dan pengundian nomor urut Parpol peserta Pemilu (Pasal 1 angka 30 dan Pasal 8); sebelum pendaftaran, Parpol wajib memasukkan data salinan dokumen persyaratan Parpol ke dalam SIPOL –Sistem Informasi Partai Politik (Pasal 1 angka 29 dan Pasal 12 ayat (1)); dan saat melakukan pendaftaran, Parpol menyerahkan salinan dokumen persyaratan yang dicetak (print out) dari SIPOL (Pasal 12 ayat (4)).   Penyerahan Dokumen Persyaratan Keanggotaan Parpol Tingkat Kabupaten/Kota ke KPU Kabupaten/Kota   Sesuai ketentuan PKPU Nomor 6 Tahun 2018, pendaftaran Parpol dilakukan secara terpusat dan terdesentralisai. Artinya, pengajuan pendaftaran Parpol calon peserta Pemilu dilakukan oleh pengurus pusat Parpol kepada KPU RI. Sedangkan, untuk kepengurusan Parpol tingkat kabupaten/kota menyerahkan dokumen persyaratan keanggotaan Parpol kepada KPU kabupaten/kota.  Khusus untuk tingkat kabupaten/kota, dokumen persyaratan yang diserahkan kepada KPU kabupaten/kota adalah: Daftar nama dan alamat anggota dalam wilayah kabupaten/kota dengan menggunakan formulir (yang sudah ditentukan KPU) yang dibuat dalam bentuk: naskah asli elektronik (softcopy) melalui SIPOL; dan naskah asli (hardcopy). salinan bukti Kartu Tanda Anggota (KTA) Parpol dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-E) paling sedikit 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk kabupaten/kota dalam bentuk naskah asli (hardcopy) yang disusun secara berurutan sesuai dengan daftar nama anggota Parpol untuk setiap desa/kelurahan dalam satu kecamatan.   Sekali lagi, dengan tidak bermaksud mendahului ketentuan pelaksanaan dari KPU RI terkait dengan persyaratan dan proses pendaftaran Parpol calon peserta pemilu 2024, setidaknya uraian di atas dapat dijadikan acuan sementara bagi Parpol dan dapat disimpulkan: Persyaratan Parpol peserta Pemilu 2024 terdiri atas 10 (sepuluh) persyaratan; Sebelum pendaftaran, Parpol tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota menunjuk Petugas Penghubung; Sebelum pendaftaran, Parpol memasukkan data salinan dokumen persyaratan ke dalam SIPOL; Saat melakukan pendataran, Parpol menyerahkan salinan dokumen persyaratan yang dicetak dari SIPOL; Pendaftaran Parpol dilakukan oleh pengurus pusat Parpol (sentralisasi) kepada KPU RI dan pengurus Parpol kabupaten/kota menyerahkan dokumen keanggotaan kepada KPU kabupaten/kota (desentralisasi);    Apa saja persyaratan yang dijadikan fokus dan bagaimana proses penelitian administrasi dan verifikasi faktual yang akan dilakukan oleh KPU RI, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota akan disosialisaikan setelah diterbikan kebijakan KPU RI melalui PKPU dan peraturan teknis lainnya terkait dengan verifikasi Parpol calon peserta Pemilu tahun 2024. Semoga tulisan singkat ini bermanfaat.

PEMILU versus DEMOKRASI oleh Nida Guslaili Rahmadina dan Ihsan     Bagi suatu negara yang mendasarkan dirinya pada demokrasi perwakilan, pemilihan umum (Pemilu) menjadi sebuah keniscayaan. Pemilu menjadi sarana yang paling layak untuk pengejawantahan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan (representative gouvernment). Melalui Pemilu, rakyat dapat menggunakan hak-hak politiknya untuk dipilih dan memilih orang-orang yang akan duduk dalam lembaga perwakilan. Terkait dengan pengisian lembaga perwakilan ini, bisa saja banyak cara yang dapat ditempuh, misalnya melalui penunjukan. Akan tetapi, para pakar politik sepakat bahwa Pemilu menjadi satu-satunya cara yang demokratis. Menurut Nohlen (dalam Toni A, dkk: 2006) bahwa pemilihan umum (Pemilu) adalah satu-satunya metode demokratik untuk memilih wakil rakyat.  Bahkan Yusril (1996) mengatakan bahwa mungkin saja terdapat banyak jalan bagi rakyat untuk menunjuk wakil-wakilnya, namun hingga kini, cara yang dianggap paling memungkinkan adalah pemilihan umum. Kendati Pemilu disepakati sebagai satu-satunya cara yang layak bagi demokrasi, namun Pemilu pada tataran praktis dapat saja mengundang banyak pertanyaan. Apakah idea demokrasi yang mengedepankan kedaulatan rakyat dan kebebasan hak-hak politik rakyat dapat terjamin melalui Pemilu. Atau, apakah Pemilu cenderung mengebiri nilai-nilai demokrasi yang paling diganderungi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Tentunya, pertanyaan-pertanyaan seperti ini patut diajukan ketika kita mengaitkannya dengan praktik beberapa kali Pemilu yang berlangsung selama era rejim Orde Baru dan era reformasi di negara kita. Makalah ini tentu akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan sekaligus sebagai pemicu diskusi politik konstrukrif kepemiluan.     Demokrasi/Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi Negara UUD 1945   Berbicara mengenai demokrasi di Indonesia, mau atau tidak kita harus mengembalikannya kepada konstitusi negara, yaitu UUD 1945. Sebab, UUD 1945 sebagai konstitusi negara, bukan sebuah dokumen hukum belaka. UUD 1945 juga mengandung cita negara (staatsidee) yakni aliran pikiran yang mendasari pembentukan negara, hakekat, maksud, dan tujuannya. Rumusan cita negara ini terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan melalui Pasal-pasal dalam Batang Tubuhnya.  Salah satu cita negara terdapat dalam alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945, yaitu dianutnya asas “kedaulatan rakyat” berdasarkan kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Di dalam Batang Tubuh UUD 1945 (Amandemen I, II, III, dan IV), Pasal 1 ayat (1) dinyatakan:  “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Sedangkan pada ayat (2) disebutkan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan diaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (3) ditegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Mencermati isi Pembukaan dan Pasal 1 UUD 1945 ini, kita dapat meyakini bahwa negara Indonesia menganut ide negara kedaulatan rakyat dengan sistem politik demokrasi perwakilan (representative gouvernment). Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, UUD 1945 mengatur tentang lembaga-lembaga demokrasi perwakilannya. Jika kita telusuri Pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945, terdapat tiga lembaga perwakilan untuk tingkat pemerintahan pusat, yaitu: MPR (Pasal 2), DPR (Pasal 19), dan DPD (Pasal 23C). Sedangkan untuk tingkat pemerintahan daerah, terdapat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (Pasal 18). Pengisian jabatan-jabatan dalam lembaga perwakilan di atas (kecuali MPR sebagai wujud gabungan DPR dan DPD),  UUD 1945 (amandemen) secara tegas mengaturnya melalui Pemilu. Ini tentu berbeda dengan UUD 1945 sebelum diamandemen (yang berlaku selama dua periode: periode pertama tanggal 18 Agustus 1945 s.d 27 Desember 1949, periode kedua sejak tanggal 5 Juli 1959 s.d 19 Oktober 1998). UUD 1945 yang berlaku selama dua periode ini, tidak terdapat satu Pasalpun yang menyinggung adanya Pemilu. Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen hanya menyatakan bahwa susunan keanggotaan MPR dan DPR “ditetapkan dengan undang-undang”. Oleh karenya itu, menurut Muhammad Yamin (dalam Yusril, 1996) bahwa “seluruh anggota DPR dan MPR dapat saja diangkat oleh presiden, asalkan pengangkatan itu ditetapkan oleh undang-undang”. Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat seperti di atas, Pasal 18 UUD 1945 (amandemen) juga mengatur tentang Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden pada tingkat pemerintahan pusat dan memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota untuk tingkat pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Selanjutnya, sesuai Pasal 22E UUD 1945 bahwa Pemilu tersebut diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.     Demokrasi: Idea Politik   Secara historis, istilah “demokrasi” dapat ditelusuri jauh ke belakang yaitu ketika petama kali dipraktekkan dalam pemerintahan negara-kota Yunani (450 SM) dan Athena (350 SM). Dalam praktek pemerintahan negara-kota ini, demokrasi dijalankan secara langsung (direct democracy). Terkait dengan ini, Pericles (dalam Eep Saifullah: 2000) mengemukakan beberapa kriteria demokrasi, yaitu: (1) pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung; (2) kesamaan di depan hukum; (3) pluralisme, yaitu penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan dan pandangan; dan (4) penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual. Memasuki zaman renaisance dan aufklarung (sekitar abad ke-15 dan ke-16), istilah demokrasi mengalami pergeseran/perubahan ke arah pemoderenan. Hal ini terkait dengan munculnya pemikiran-pemikiran besar tentang hubungan antara penguasa atau negara di satu pihak dengan rakyat di pihak lain melalui “indirect demokracy”. Sehubungan dengan pergeseran ini, Robert A. Dahl (dalam Sahat Simamora: 1985) mengemukakan lima kriteria demokrasi sebagai sebuah idea politik, yaitu: (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat; (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; (3) pembeberan kebanaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis; (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili massyarakat; dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. Menurut Eep Saifullah (2000) bahwa “ide demokrasi ini mementingkan keterlibatan masyarakat dalam proses formulasi kebijakan, adanya pengawasan terhadap kekuasaan, dan dijaminnya persamaan perlakuan negara terhadap semua warga negara sebagai unsur-unsur pokok demokrasi”. Sejak perang dunia (PD) II berakhir, hampir tak ada negara satupun yang tidak mengklaim dirinya menjalankan demokrasi, termasuk bagi negara-negara penganut ideologi komunisme. Kendati demikian, pada tataran praktek, menurut hasil penelitian Unesco tahun 1949 (Miriam B:1982) bahwa ide demokrasi dianggap ambigious. Paling tidak ada ketidaktentuan mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang digunakan untuk melaksanakan ide demokrasi tersebut. Ketidaktentuan ini dipengaruhi oleh kondisi kultural dan historis masing-masing negara. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila masing-masing negara menyebutkan istilah sistem politik demokrasinya berbeda-beda. Demokrasi proletar atau demokrasi Soviet di Uni Soviet, demokrasi rakyat di Eropa Timur, demokrasi nasional di beberapa negara Afrika dan Asia, atau demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila di negara kita-- merupakan beberapa contoh penyebutan berbeda tentang istilah sistem politik demokrasi. Kendati terdapat banyak perbedaan penyebutan, namun menurut Miriam Budiadjo (1982) bahwa pada dasarnya demokrasi dapat dikelompokkan ke dalam dua aliran, yaitu aliran demokrasi konstitusional dan aliran demokrasi saja. Demokrasi konstitusional menekankan kepada cita-cita pemerintahan yang terbatas kekuasaannya, suatu negara hukum (rechtsstaat) yang tunduk kepada rule of law, serta pengakuan dan pengedepanan implementasi hak-hak asasi manusia. Sebaliknya, kelompok aliran demokrasi kedua pada hakekatnya mendasarkan kepada ideologi komunisme dengan kekuasaan pemerintahan tak terbatas. Jikalau ada Pemilu, Pemilu hanya sebatas formalitas melalui mobilisasi partisipasi rakyat untuk kepentingan legitimisasi rezim penguasa. Secara idea dan praktek politik, jika kita mengikuti perjalanan demokrasi hingga dewasa ini, kita dapat mengidentifikasi telah terjadinya beberapan tahapan transformasi atau gelombang demokrasi. Menurut Dahl (dalam Rahman Z:1992) gelombang demokrasi pertama adalah demokrasi yang kecil ruang lingkupnya, berbentuk demokrasi langsung. Gelombang demokrasi kedua diwujudkan dengan diperkenalkannya praktek republikanisme, perwakilan dan logika persamaan. Sedangkan, gelombang demokrasi ketiga dialami oleh kehidupan politik modern seperti saat ini. Gelombang demokrasi ketiga lebih memusatkan diri pada pencarian sumber-sumber ketidaksamaan daripada berusaha melaksanakan persamaan dalam masyarakat. Untuk itu, jalan yang ditempuh demokrasi maju adalah penyebarluasan sumber daya ekonomi, posisi dan kesempatan melalui penyebarluasan pengetahuan, informasi, dan keterampilan. Gelombang demokrasi ketiga yang terjadi pada awal abad ke-20 ini, demokrasi tidak hanya terbatas kepada politik, melainkan mencakup demokrasi berbagai aspek kehidupan. Terlepas dari gelombang mana demokrasi itu berada, Eep Saefullah Fatah (2000) mengajukan empat kriteria pokok demokrasi, yaitu: (1) partisipasi politik yang luas dan otonom; (2) sirkulasi kepemimpinan politik secara efektif dan kompetitif; (3) kontrol terhadap kekuasaan yang efektif; dan (4) kompetisi politik yang leluasa dan sehat dalam suasana kebebasan. Bahkan, jauh sebelumnya, Henry B. Mayo (dalam Miriam B:1982) mengemukakan secara normatif beberapa nilai-nilai demokrasi. Pertama, menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga. Kedua, menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah. Ketiga, menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur. Keempat, membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum. Kelima, mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat. Dan keenam, menjamin tegaknya keadilan.                Pemilu: Idea Politik   Sudah menjadi kesapakatan umum, bahwa Pemilu merupakan satu-satunya cara demokratis dalam pengisian lembaga perwakilan. Pemilu menjadi sarana yang layak untuk mengejawantahkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan (representative gouvernment). Berkaitan dengan ini, secara teoritis, Pemilu dapat dilihat sebagai proses (electoral process) maupun sebagai sistem pemilihan (electoral law). Menurut Arbi Sanit (dalam  Toni A, dkk: 2006) sebagai electoral process, Pemilu menyangkut struktur, peserta Pemilu, penyelenggara Pemilu, dan mekanisme Pemilu (tahapan-tahapan Pemilu). Sedangkan, Pemilu sebagai electoral law adalah menyangkut sistem Pemilu yang ditetapkan. Secara umum. sistem Pemilu meliputi sistem proporsional dengan segala variannya dan sistem distrik dengan segala variannya. Di negara kita, baik Pemilu sebagai electoral process maupun sebagai electoral law sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan Pemilu, yaitu UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.   Karena Pemilu disepakati menjadi satu-satunya cara demokratis dalam mengisi lembaga perwakilan, maka penyelenggaraan Pemilu juga harus demokratis (dalam istilah sekarang dikenal dengan Pemilu berkualitas atau Pemilu berintegritas).  Menurut Eep Saifullah Fatah (1997), syarat-syarat Pemilu demokratis mencakup: (1) adanya keleluasaan membentuk tempat penampungan bagi aspirasi rakyat; (2) adanya pengakuan hak pilih yang universal; (3) netralitas birokrasi; (4) penghitungan suara yang jujur; (5) rekrutmen terbuka bagi para calon; (6) adanya komite atau panitia pemilihan yang independen; dan (7) adanya keleluasaan bagi kontestan dalam berkampanye. Bahkan, Pasal 2 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa Pemilu diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (LUBER dan Jurdil). Kemudian dalam ketentuan Pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 2017 digariskan bahwa penyelenggaraan Pemilu harus memenuhi prinsip: a) mandiri; b) jujur; c) adil; d) berkepastian hukum; e) tertib; f) terbuka; g) proporsional; h) profesional; i) akuntabel; j) efektif; dan k) efesien.   Pemilu versus Demokrasi atau Pemilu partner Demokrasi   Sesuai dengan uraian di atas, kita dapat mengatakan bahwa Pemilu yang diselenggarakan tanpa mengindahkan nilai-nilai normatif Pemilu, seperti prinsip-prinsip Pemilu demokratis, tidak berpijak kepada asas LUBER dan Jurdil, dan tidak berpegang kepada prinsip-prinsip penyelenggaraan Pemilu, maka praktek Pemilu hanya sekedar formalitas dan dapat mengebiri nilai-nilai demokrasi substansial. Inilah yang dimaksud dengan Pemilu versus demokrasi. Sebaliknya, jika Pemilu diselenggarakan sesuai prinsip Pemilu demokratis, berdasarkan asa LUBER dan Jurdil, dan berpegang kepada prinsip penyelenggaraannya, maka Pemilu tidak saja sebagai partner yang menunjang pengejawantahan demokrasi secara prosedural, melainkan pula akan mewujudkan nilai-nilai demokrasi secara substansial (kedaulatan rakyat). Sebenarnya banyak faktor yang dapat diidentifikasi dan turut berpengaruh terhadap proses Pemilu demokratis guna mewujudkan demokrasi substansial. Berdasarkan pengalaman-pengalaman praktek Pemilu, baik selama era Orde Baru maupun era reformasi sekarang ini, faktor-faktor tersebut dapat disederhanakan melalui visual Pemilu dalam perspektif kerja sistem seperti di bawah ini.   Dilihat dari perspektif kerja sistem, kinerja/proses Pemilu dipengaruhi oleh inputnya dan kinerja/proses Pemilu akan berpengaruh terhadap outputnya. Selanjutnya, output Pemilu menjadi feedback sebagai input kembali. Prosesi untuk mewujudkan praktek Pemilu demokratis menuju demokrasi substansial akan selalu berlangsung sebagaimana alur kerja sistem ini.   Kesimpulan Secara historis,  perjalanan demokrasi baik sebagai idea maupun praktek politik selalu berkembang sesuai kondisi perkembangan/kemajuan negara masing-masing. Diyakini bahwa Pemilu merupakan satu-satunya cara demokratis dan layak untuk mengisi lembaga-lembaga perwakilan. Untuk mewujudkan ide demokrasi secara substansial, Pemilu harus diselenggarakan secara demokratis pula. Dari perspektif kerja sistem, faktor-faktor yang terdapat dalam input Pemilu akan sangat berpengaruh terhadap praktek Pemilu demokratis.           Sumber Pustaka   Amandemen UUD 1945: Perubahan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 1999. UUD 1945: Setelah Diamandemen, Suritama Cipta Karya, Surabaya, 2005. UU RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum RI Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982. Sahat Simamora, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, Rajawali Press, Jakarta, 1985.  Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988. A. Rahman Zainuddin, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992. Reza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996. Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996. Eep Saifullah Fatah, Evaluasi Pemilu Orde Baru, Mizan, Bandung, 1997. Eep Saifullah Fatah, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000. Toni Andrianus Pito, dkk., Mengenal Teori-teori Politik; Dari Sistem Politik sampai Korupsi, Nuansa, Bandung, 2006.